Seni Menjadi Guru yang Rendah Hati namun Berwibawa

Seni Menjadi Guru yang Rendah Hati namun Berwibawa

Oleh: Asikin, S.Pd.SD

Menjadi seorang guru bukan hanya soal mengajar, tetapi juga bagaimana menghadirkan keteladanan. Guru hebat tidak diukur dari seberapa keras ia bersuara, melainkan dari sikap rendah hati yang tetap memancarkan wibawa. Inilah seni menjadi guru yang mampu menginspirasi sekaligus mendidik dengan hati.

Pertama, seorang guru perlu menunjukkan sikap ramah tanpa kehilangan ketegasan. Senyum yang tulus dapat menciptakan kedekatan, sementara ketegasan menjaga kewibawaan di mata murid. Guru yang rendah hati juga selalu mau mendengarkan pendapat murid maupun rekan guru, sehingga suasana belajar lebih demokratis dan saling menghargai.

Kedua, kerendahan hati tampak dari sikap tidak merendahkan orang lain meskipun lebih berpengalaman. Justru pengalaman menjadi modal untuk membimbing tanpa merasa lebih tinggi. Jika terjadi kesalahan, guru tidak segan mengakui dengan bijak—itulah teladan yang akan diingat murid sepanjang hidupnya.

Ketiga, kewibawaan seorang guru terbangun dari konsistensi. Ia menegakkan aturan dengan penuh empati, tidak kaku, tetapi tetap jelas batasannya. Setiap usaha murid, sekecil apa pun, selalu dihargai agar tumbuh rasa percaya diri dan motivasi.

Dalam berkomunikasi, guru hebat senantiasa berbicara dengan sopan, jelas, dan penuh wibawa. Kedisiplinan juga menjadi contoh nyata, meskipun dijalankan tanpa sikap keras. Dari situlah murid belajar bahwa disiplin lahir dari kesadaran, bukan paksaan.

Terakhir, guru yang rendah hati lebih mengutamakan kerja sama daripada menunjukkan kekuasaan. Ia menyadari bahwa kewibawaan sejati lahir dari integritas, bukan dari rasa takut yang ditanamkan.

Menjadi guru rendah hati namun berwibawa adalah seni tersendiri. Ia menuntut keseimbangan antara hati yang lembut dan prinsip yang teguh. Dengan seni inilah, guru tidak hanya mendidik, tetapi juga meninggalkan jejak inspirasi yang abadi dalam kehidupan murid-muridnya.