JALALUDDIN LAMBILA II MANURU SUNTU

Secara geneology Manuru Suntu mempunyai garis keturunan langsung dengan Ruma Ta Mawa’a Bilmana (raja Bima penakluk pulau timur), Ruma Ta Mawa’a Bilmana mempunyai anak Rumata Makapiri Solor (La Mbila I), kemudian Rumata Makapiri Solor mempunyai anak Rumata Mambora Ba Cihu (Lambahi) dan Rumata Mambora Ba Cihu mempunyai anak Rumata Manuru Suntu (La Mbila II). Dari silsilah tersebut terdapat satu peristiwa yang merubah kedudukan antara Raja dan Tureli Nggampo hingga menuai perdebatan sejarah.

Ruma Ta Mawa’a Bilmana pada saat itu berkedudukan sebagai Raja dan adiknya Manggampo Donggo sebagai Tureli Nggampo. Membaca dari beberapa literatur sejarah bahwa Ma Waa’a Bilmana merupakan sosok yang mempunyai jiwa petualang dan penakluk sehingga beliau tidak bisa berdiam diri di dalam Istana dan memiliki keinginan besar untuk menjelajah negeri timur. Sehingga beliau memberikan jabatan Raja kepada adiknya Manggampo Donggo.

Pada awal abad ke-17 saat itu kerajaan Bima terjatuh dalam kemelut perang politik internal istana berkepanjangan yang berpengaruh merubah sejarah Nusantara, khususnya Bima. Kemelut politik di dalam kerajaan Bima terjadi karena perebutan tahta kerajaan menggantikan ayah mereka Raja Ma Waa’a Ndapa, yaitu antara kakak beradik Salisi Ma Ntau Asi Peka bersama adiknya Ma Ntau Asi Sawo lain ibu.

Saat terjadinya konspirasi politik antara dua kubu Salisi dan Ma Ntau Asi Sawo, banyak memakan korban, para rato-rato (bangsawan) yang berpihak kepada Ma Ntau Asi Sawo akan diracuni oleh kaki tangan Salisi. Seperti halnya para Jena Teke (putra mahkota) yang dibunuh dan diracuni, tetapi nasib baik berpihak kepada Ma Ntau Asi Sawo. Kemudian tahta Kerajaan Bima jatuh ke tangan Ma Ntau Asi Sawo.

Akhirnya banyak rato-rato dari kubu Ma Ntau Asi Sawo terancam, salah satunya Tureli Nggampo Rato Lambahi (Mambora Ba Cihu, mati karena disikut) saudara sepupu Ma Ntau Asi Sawo anak dari Makapiri Solo. Melihat bahwa keadaan konflik internal Istana sudah semakin panas antara dua kubu kakak beradik itu, maka Rato Lambahi segera menemui adiknya Bumi Renda Rato Waro Bewi untuk merencanakan penyelamatan La Ka’i karena semua kakaknya yang akan mewarisi tahta dibunuh oleh Salisi.

Segera Rato Waro Bewi mengumpulkan semua pihak dari kubu Ma Ntau Asi Sawo untuk pergi meninggalkan Istana (Ma Kalosa Weki). Rato Lambahi segera pergi untuk menemui anaknya Manuru Suntu (Lambila II) untuk segera diungsikan. Sebelum pergi, Rato Lambahi berpesan kepada Manuru Suntu:

“Hai anakku, jangan sekali-kali engkau bercerai dengan adikmu (La Ka’i). Jikalau diumpamakannya tenggelam, sama tenggelam. Jikalau timbul, sama timbul dengan adikmu.”

Selang beberapa hari Rato Lambahi mati dibunuh oleh kaki tangan Salisi.

Kemudian Rato Waro Bewi sekaligus Bumi Renda (panglima perang) membawa semua pengikut kubu Ma Ntau Asi Sawo untuk mengungsi. Pada saat di Desa Teke sebagai tempat mengungsinya kubu Ma Ntau Asi Sawo, di desa inilah Manuru Suntu dan ketiga saudara sepupunya La Ka’i, Bumi Jara Mbojo, dan Manuru Bata dilatih dengan berbagai ilmu lainnya oleh Rato Waro Bewi dan para sesepuh.

Tahun 1607 kerajaan Bima sepenuhnya sudah dikuasai oleh Salisi dan mengangkat dirinya sebagai Raja Kerajaan Bima. Mendengar bahwa Jena Teke La Ka’i masih hidup membuat Salisi tidak tenang, kemudian Salisi mengeluarkan perintah kepada para prajuritnya untuk mencari dan membunuh La Ka’i.

Tahun 1621 Rato Waro Bewi membawa Jena Teke dan Manuru Suntu beserta pengikutnya ke Sape untuk bertemu dengan para utusan Kesultanan Gowa di Parapi. Dalam waktu yang bersamaan juga La Ka’i memeluk agama Islam diikuti oleh Manuru Suntu yang juga memeluk agama Islam.

Kemudian Jena Teke beserta utusan Kesultanan Gowa mengungsi di Kalodu dari kejaran Raja Salisi. Selanjutnya La Ka’i, Manuru Suntu, Bumi Jara Mbojo, dan Ma Wa’a Tonggo Dese mengganti nama mereka dengan nama Arab.

  • La Ka’i diganti menjadi Abdul Kahir,

  • Manuru Suntu diganti menjadi Jalaluddin,

  • Bumi Jara Mbojo diganti menjadi Awaluddin,

  • Ma Wa’a Tonggo Dese diganti menjadi Sirajuddin.

Dari Kalodu, rombongan La Ka’i berangkat ke Wera untuk menuju ke Gowa. Namun di Wera mereka dihadang oleh para prajurit Salisi sehingga terjadi pertempuran yang amat dahsyat dan menewaskan Rato Waro Bewi. Pertempuran itu dikenang dengan nama tragedi “Doro Cumpu”.

Setelah mengetahui bahwa Rato Waro Bewi telah dibunuh oleh prajurit Salisi, Manuru Suntu menjadi ketua rombongan La Ka’i menggantikan pamannya untuk menuju Kerajaan Gowa di tanah Sulawesi. Setelah tiba di Kerajaan Gowa pada tahun 1625, La Ka’i beserta pengikutnya menetap untuk sementara waktu.

Pada saat di Gowa Manuru Suntu atau Jalaluddin banyak menimba ilmu perang pada Karaeng Buraqne dan Raja Matoaya atau Sultan Abdullah Awalul Islam. Sekembalinya dari Gowa tahun 1640 dan meraih kemenangan dari Salisi, Jalaluddin (Manuru Suntu) ditugaskan oleh Abdul Kahir untuk mengejar Salisi di Dompu untuk diadili di dewan Hadat, kemudian Jalaluddin diangkat sebagai Raja Bicara (perdana menteri) sekaligus Bumi Renda (panglima perang) Kesultanan Bima. Untuk membangun kembali kerajaan pasca kekalahan Salisi dan masuknya Islam, Jalaluddin harus memulai dari awal membangun pemerintahan dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi dan mengumpulkan semua Ncuhi untuk memberitahukan tentang kerajaan yang akan digantikan dengan kesultanan.

Mengenai tahun kematian Jalaluddin belum ada rujukan yang pasti, tapi menurut pendapat para sejarawan Bima bahwa kematian Jalaluddin sekitar tahun 1643, dan beliau dimakamkan di Kampung Suntu – Kota Bima tepatnya di SDN 2 Kota Bima.


Oleh : Fahrurizki

Sumber rujukan:

  1. Bo Sangaji Kai – Henri Chambert Loir, Siti Maryam R. Salahuddin, EFFEO Obor Indonesia, 1999.

  2. Tawalluddin Haris – Kesultanan Bima di Pulau Sumbawa, Wacana Vol. 8 No. 1, April 2006 (hal. 17–31).